Dalam pernyataan-pernyataan awalnya, pemerintah Israel mula-mla menyatakan bahwa para kritikus yang menganggap bahwa Pasukan Bela Diri Israel (IDF) bertanggungjawab atas kejadian-kejadian di Sabra dan Shatila telah melakukan "tuduhan berdarah terhadap negara Yahudi dan pemerintahnya". Namun demikian, sementara berita tentang pembantaian itu menyebar ke seluruh dunia, kontroversi itu makin berkembang dan pada 25 September, 300.000 orang Israel berdemonstrasi di Tel Aviv menuntut jawaban.
Pada 28 September, pemerintah Israel memutuskan untuk membentuk sebuah Komisi Penyelidik, yang dipimpin oleh bekas Hakim Agung Kahan. Laporan itu mencakup bukti-bukti dari para personil pasukan Israel, maupun para tokoh politik dan perwira Falangis. Dalam laporan itu, yang diterbitkan pada musim semi 1983, Komisi Kahan menyatakanb bahwa tidak terbukti bahwa satuan-satuan Israel ikut serta langsung dalam pembantaian itu dan bahwa semua itu adalah "tanggung jawab langsung kaum Falangis." Namun demikian, Komisi itu mencatat pula bahwa personil militer Israel sadar bahwa pembantaian itu berlangsung tanpa mengambil langkah-langkah serius untuk menghentikannya, dan bahwa laporan-laporan mengenai pembantaian yang berlangsung itu disampaikan kepada para perwira senior Israel dan bahkan kepada seorang menteri di kabinet Israel. Karena itu, Komisi menyimpulkan bahwa Israel ikut "bertanggung jawab secara tidak langsung". Di antara mereka yang dianggap "bertanggung jawab secara tidak langsung", komisi itu menyimpulkan bahwa Ariel Sharon bertanggung jawab "secara pribadi", dan mengusulkan agar ia dipecat dari kedudukannya sebagai menteri pertahanan. Komisi juga merekomendasikan pemecatan Direktur Intelijen Militer Yehoshua Saguy, dan penurunan pangkat atas Komandan Divisi Amos Yaron sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Rekomendasi-rekomendasi ini dilaksanakan. Meskipun Komisi Kahan menyimpulkan bahwa Sharon tidak boleh mengemban jabatan publik lagi, belakangan ia menjadi Perdana Menteri Israel[9].
Para kritikus laporan komisi itu menunjukkan kenyataan bahwa Israel melakukan investigasi atas dirinya sendiri dan berpendapat bahwa laporan itu merupakan upaya untuk membersihkan nama Israel. Misalnya, Noam Chomsky mengatakan:
- "Laporan Komisi Kahan ini adalah upaya pembersihan nama yang memalukan; lihat Fateful Triangle, chapter 6, and Shimon Lehrer, Ha'ikar Hehaser ("The Missing Crucial-Point"; Amit, Jerusalem, 1983). Dalam analisis kritis yang cermat terhadap kejadian-kejadian sekitar pembantaian itu dan laporan Komisi Kahan, Lehrer memperlihatkan bahwa kesimpulan-kesimpulannya tidak dapat dipertahankan dan berpendapat bahwa, di bawah hukum Israel, Menteri Pertahanan dan Kepala Staf mestinya diganjar hukuman penjara selama 20 tahun atas pembunuhan terencana. Sementara dikritik tajam di Israel, di AS, laporan Komisi Kahan itu digambarkan, tanpa analisis, sebagai laporan yang paling mengesankan dan bahkan hampir menakjubkan."[10]
Sebagian komentator, seperti Noam Chomsky dan Robert Fisk, menyatakan bahwa Israel mestinya dapat mencegah pembantaian itu. Lebih jauh, mereka meragukan bahwa di kamp-kamp itu memang ada anggota PLO, karena (1) Komisi Kahan mengklaim bahwa pasukan Israel hanya mengirim 150 orang Falangis untuk memerangi anggota PLO yang konon jumlahnya 2.000 orang. Ini tentu suatu keputusan militer yang tidak realistik dan buruk. (2) kaum Falangis hanya menderita dua korban, sebuah hasil yang tidak mungkin terjadi dalam sebuah pertempuran yang berlangsung selama 36 jam antara 150 orang militan melawan 2.000 pasukan PLO yang berpengalaman. [FT].
Para pembela Israel menunjukkan bahwa Israel tidak pernah mengklaim bahwa semua anggota PLO (dan bukan para militan Fatah) itu bersenjata atau berusaha menyusun suatu pertahanan. Selain itu, pada beberapa kesempatan sebelumnya, kaum Falangis digunakan oleh tentara Israel untuk menyaring para anggota PLO dari sisa penduduk Lebanon. Mereka mengklaim bahwa pada kesempatan-kesempatan lain itu, kaum Falangis berperilaku baik. Israel menunjukkan bahwa komandan lapangan Falangis, Elie Hobeika, pada saat itu sudah memelihara hubungan dengan Suriah (ia secara terbuka mengalihkan kesetiaannya kepada Suriah), hingga memberikan kesan bahwa ia mungkin telah menciptakan pembantaian itu sebagai sebuah provokasi politik terhadap sekutu-sekutu Israelnya. Akhirnya, Israel menyatakan bahwa ia tidak pernah mengeluarkan perintah (pada kesempatan ini maupun yang lainnya) yang akan mengizinkan pembunuhan terhadap kaum sipil yang tidak bersenjata.
Namun demikian, Israel telah memberikan komitmen tertulis bahwa ia akan melindungi kaum sipil Palestina (sebagai tanggung jawabnya sebagai kekuatan pendudukan di bawah hukum internasional), namun Israel tidak melakukan apa-apa untuk melindungi warga sipil ketika ia sadar bahwa pembantaian sedang berlangsung.
Pada 4 Februari 1983, Der Spiegel (sebuah majalah Jerman terkemuka) memuat sebuah wawancara dengan salah seorang falangis yang ikut serta dalam pembantaian itu. Menurut orang ini, para pasukan Israel berperang bersama-sama kaum falangis serta mengebomi kamp itu untuk menolong mereka mengatasi perlawanan Palestina.
Pada 1987, "Time" menerbitkan sebuah laporan yang menyiratkan bahwa Sharon bertanggung jawab secara langsung atas pembantaian-pembantaian itu. Sharon menuntut Time dengan tuduhan pencemaran di pengadilan Amerika dan Israel. Time memenangi tuntutan itu di pengadilan AS karena Sharon tidak dapat membuktikan bahwa Time telah "bertindak dengan maksud jahat," sebagaimana yang diharuskan di bawah undang-undang pencemaran AS, meskipun para juri merasa bahwa artikel itu keliru dan mencemarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar